PEKALONGAN – Di tengah perjuangan mempertahankan warisan batik yang telah turun-temurun, seorang perajin batik dari Desa Pacar, Kecamatan Tirto, Kabupaten Pekalongan, harus menerima kenyataan pahit. Son Haji (56), seorang pengrajin batik, menjadi korban penipuan hingga terancam kehilangan rumah.
Peristiwa yang dialami Son Haji bermula ketika ia berniat menjual rumahnya. Pada 2011, seorang teman berinisial SM mendekatinya dengan janji membeli rumah tersebut.
“Saya tertipu. Awalnya saya diajak ke notaris untuk urusan pembayaran rumah, tapi ternyata setelah sertifikat rumah dibalik nama, dua sertifikat rumah saya dijaminkan ke bank atas nama orang lain tanpa sepengetahuan saya,” ungkap Son Haji, Jumat (6/9)
Tanpa disadari, sertifikat rumahnya digadaikan untuk utang atas nama RY, yang diduga adalah komplotan dari Syukron Makmun. Mereka menggunakan sertifikat tersebut untuk mengajukan pinjaman ke bank, sementara Son Haji hanya diberikan selembar cek sebagai “pembayaran” rumah.
Son Haji, yang masih yakin dengan janji temannya, membawa cek tersebut ke sebuah bank di Pekalongan. Namun, alih-alih mendapatkan haknya, hanya Rp 40 juta yang dicairkan. Padahal, pinjaman yang diajukan oleh komplotan tersebut bernilai Rp 300 juta. Kondisi ini memicu kemarahan Son Haji, yang merasa dipermainkan.
“Saya sempat ribut dengan RY. Bayangkan, dua sertifikat rumah saya yang luasnya ratusan meter hanya dihargai Rp 40 juta, padahal utang mereka cair Rp 300 juta. Saya benar-benar merasa dipermainkan,” ujarnya dengan nada kesal.
Tak tinggal diam, Son Haji kemudian mencoba mencari SM untuk meminta pertanggungjawaban. Namun, yang bersangkutan semakin sulit ditemukan, bahkan selalu mengelak dari kejaran Son Haji.
“Saya heran, dua sertifikat rumah saya dijadikan jaminan tanpa pernah ada survei atau verifikasi dari pihak bank. Bagaimana bisa sertifikat saya digunakan begitu saja?” tambahnya dengan bingung.
Kasus ini menjadi semakin pelik ketika Son Haji mulai dikejar oleh pihak bank. Padahal, ia tidak pernah mengajukan pinjaman atau berurusan langsung dengan bank. Merasa khawatir, Son Haji sempat membayar angsuran tiga kali agar tidak kehilangan rumahnya, meski dirinya tidak pernah menikmati hasil dari pinjaman tersebut.
Pada 2014, Son Haji kembali dikejutkan dengan kabar bahwa salah satu sertifikat rumahnya telah ditebus hanya dengan Rp 70 juta oleh adik kandung istrinya, tanpa persetujuan RY yang kini menjadi nama di atas sertifikat.
Ia mempertanyakan bagaimana pihak bank bisa meloloskan prosedur tersebut tanpa sepengetahuan pemilik asli.
“Satu sertifikat ditebus hanya dengan Rp 70 juta. Apa dasar hukumnya? Apalagi pihak bank dengan mudah memberikan sertifikat itu kepada adik kandung istri saya. Ini sangat tidak masuk akal,” cetus Son Haji.
Dua sertifikat rumah yang menjadi korban penipuan ini masing-masing memiliki luas 610 meter persegi di Desa Pacar dan 327 meter persegi di Desa Samborejo, Kecamatan Tirto.
Kuasa hukum Son Haji, Didik Pramono, menyatakan bahwa pihaknya akan mengambil langkah hukum untuk melawan tindakan bank pelat merah yang dianggap meloloskan sertifikat tanpa proses yang jelas. Ia berencana mengirimkan surat resmi kepada bank tersebut untuk membuka ruang dialog dan mencari solusi yang adil.
“Kami akan mulai dengan menyampaikan permasalahan ini kepada pihak bank. Langkah selanjutnya adalah berusaha mencari solusi terbaik bagi kedua belah pihak. Namun, yang pasti, kami berharap bank dapat bertindak adil dalam masalah ini,” tegas Didik Pramono.
Polda Jateng, Kapolda Jateng, Irjen Pol Ribut Hari Wibowo, Wakapolda Jateng, Brigjen Pol Agus Suryonugroho, Kabidhumas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, Jawa Tengah, Jateng, AKBP Sigit, AKBP Erick Budi Santoso, Iptu Mohammad Bimo Seno, AKBP Suryadi, Kombes Pol Ari Wibowo, Kompol Muhammad Fachrur Rozi, AKBP Wahyu Nugroho Setyawan, Kepolisian Daerah Jateng, Polisi Jateng, Polri, Polisi Indonesia, Artanto, Ribut Hari Wibowo