SEMARANG – Matematika Spiritual, kok bisa. Ya, tulisan ini tidak mengulas Pemilihan Gubernur (Pilgub) dari kacamata yang rumit, seperti strategi, visi, misi dan sejenisnya yang cenderung bikin jidat mengkerut. Namun, juga tidak lantas otak atik gathuk atau asal saja. Sudut pandang atau kacamata yang menjadi piranti untuk membedahnya adalah kecenderungan empirik.
Satu contoh, ketika Pilpres lalu, tanpa merujuk survei dan lain sebagainya, Publik Jawa Tengah (paling tidak, mayoritasnya) memilih Prabowo.
Ironis dan ini paradoks, Jawa Tengah yang notabene juga rumahnya Ganjar Pranowo, karena dia dua periode menjadi lurah masyarakat Bumi Kanthil ini, tapi mereka (rakyat) justru memilih Prabowo Subiyanto.
Apa yang salah dengan Ganjar? Mengapa mereka (rakyat Jateng) tidak memilihnya. Berderet-deret pertanyaan bermunculan, dan jawaban dari pertanyaan itu, adalah penyebab mereka tidak mau (baca suka) Ganjar menjadi Presiden.
Mencermati (bahasa Jawanya metani) alias melakukan pendalaman yang lebih spesifik, ujung-ujung kembali pada sosok Ganjar Pranowo sendiri. Artinya sang capres tidak dipilih, karena tidak disuka, akhirnya kalah. Sebab mereka punya pandangan, penilaian, sikap berbeda-beda, dalam konteks ini ada adagium, PDI Perjuangan yes, Soekarnois yes, tapi Ganjar mangke rumiyin.
Mau percaya silakan, tidak yo monggo. Tidak apa-apa. Yang pasti realitas yang terjadi di lapangan hasilnya seperti itu. Fenomena serupa kini terjadi juga dalam konteks Pilgub Jateng. Siapa bakal memenangi, mendapatkan simpati rakyat, dengan mereka datang berbondong-bondong memberikan suara di TPS. Di sini (Pilgub-red) ada dua pasangan calon, pertama Andika Perkasa-Hendy, kedua Achmad Luthfi-Taj Yassin.
Matematika Politik
Di balik matematika politis, kita dapat mendalami simbol-simbol lain, seperti menemalikan dimensi-dimensi yang berelasi dengan kontestasi ini. Jawa Tengah dalam konteks kultural tidak bisa dipisahkan dengan nilai-nilai dan falsafah Jawa (baca Kejawen). Tidak mungkin calon pemimpin (Gubernur-red) Jawa Tengah adalah mereka yang datang dengan pemahaman kosong tentang esensi Pakuning Tanah Jawa itu sendiri.
Mereka (Gubernur) mesti kewahyon (mendapat wahyu – red). Dalam konteks filosofis, wahyu di sini dimaknakan kematangan secara psikologis, tidak emosional karena menjadi pemimpin adalah menunaikan laku sebagai songsong agung (payung secara spiritual). Jadi bukan orang sembarangan, mesti cakap, mantap, mampu Manjing, Ajur, Ajer, serta Ingarso Sung Tulodo, Ing Madyo Mangun Karso, Tut Wuri Handayani.
Jawa Tengah beruntung memiliki dua pasang calon (gubernur-wakil gubernur) memiliki kandidat yang memenuhi kualifikasi. Dari dua pilihan itu, siapa yang akan mendapat dukungan rakyat? Siapa lebih unggul, apakah PDI Perjuangan mampu menandingi Koalisi Parpol yang mendukung Achmad Lutfi-Taj Yasin? Untuk diketahui kali ini Partai Banteng harus menghadapi koalisi besar yang mengusung mantan Kapolda Jateng.
Koalisi ini beranggotakan Parpol yang tergabung dalam Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus itu yakni Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Golkar, Partai Nasdem, Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Partai Amanat Nasional (PAN), Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Lalu, Partai Solidaritas Indonesia, Partai Buruh, Partai Gelora, Partai Garuda, Partai Bulan Bintang, Perindo, dan Prima.
Kelimabelas partai itu jika direpresentasikan dengan jumlah kursi mencapai 87. Sedangkan rivalnya PDI Perjungan percaya diri mengusung sendiri, yakni dengan jumlah anggota 33 kursi. Kursi partai yang dipimpin Mega 2024 ini menurun meski masih menempatkan kadernya di Kursi Ketua Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD).
Artinya PDI Perjuangan tetap sebagai Partai Pemenang Pemilu di Jateng, atau tanpa menjalin koalisi sekali pun tetap dapat mengusung sendiri calonnya.
Matematika itu apakah berelasi pada hasil Pilgub mendatang? Inilah yang menjadi penantian warga di Bumi Kepodang ini.
Menilik kalkulasi secara angka, atau mendasarkan jumlah representasi secara numerik Cagub Lutfi-Taj Yasin berpotensi besar mudah memenangi Pilgub Jateng. Persoalanya menjadi Gubernur bukan semata-mata mendapatkan dukungan matematis seperti itu. Karena drajat, pangkat, semat tidak luput dari garis tangan masing-masing. Analogi yang dapat menjadi sandingan adalah memenuhi panggilan Allah ke Tanah Suci dapat menjadi penanda juga.
Melaksanakan ibadah haji, juga umroh, mereka yang datang adalah yang terpanggil. Secara materi berkecukupan, mungkin berlimpah, tetapi mereka tidak akan pernah sampai ke sana (tanah suci) karena memang tidak Allah panggil. Menjadi gubernur, bupati, walikota dan menjadi pemimpin tidak lepas dari persoalan-persoalan tersebut.
Pertanyaannya kemudian apakah Achmad Lutfi-Taj Yassin, juga Andika Perkasa- Hendy melakukan ikhtiar yang sama? Visi misi adalah narasi teoritik yang jamak. Tetapi bagaimana, hati, ucapan, pikiran dan tindakan dipersembahkan untuk Jawa Tengah adalah rahasia Allah. Seberapa mereka jujur dengan apa yang dijanjikan, yang diucapkan, untuk diniatkan dalam menjemput amanah mari kita sama-sama membuka mata hati, mata batin masing-masing.
Apa yang sudah mereka berikan untuk Jawa Tengah selama ini? Atau ketika mereka sudah memiliki kesempatan, seperti Achmad Lutfi, juga Andika Perkasa adakah Jawa Tengah dalam hati mereka? Juga Taj Yasin dan Hendrar Prihadi, mereka berdua pernah menjadi pemimpin di Bumi Kepodang ini. Apa yang sudah mereka berikan untuk Jawa Tengah?
Kontestasi politik atau dalam terminologi pesta demokrasi mengalami distorsi sebagai wahana memilih calon pemimpin. Tragedi demi tragedi mekanisme ini mengalami degradasi lantaran parpol-parpol yang menjadi stakeholder dalam pelaksanaannya di lapangan dilacurkan oleh elit-elit Partai Politik itu sendiri. Politik dagang sapi, transaksi, Serangan Fajar adalah bentuk-bentuk pelacuran demokrasi karena ditunggangi ambisi dan syahfat politik.
Fenomena politik anomali tak luput terjadi juga pada Pilkada serentak di Kabupaten dan Kota. Sejumlah elit partai politik memaksakan orang-orangnya dan diberi rekomendasi untuk menjadi Calon Bupati dan Walikota. Mereka yang sudah berjuang dan membangun komunikasi, bahkan keluar biaya tidak kecil untuk keperluan kontestasi akhirnya kandas karena restu partai, dalam hal ini rekomendasi batal diberikan.
Simak munculnya beberapa nama dadakan yang rekam jejak tak begitu jelas prestasinya. Mereka mendapat rekomendasi semata-mata karena faktor nonteknis, seperti karena titipan petinggi partai, dan hubungan emosional.
Aroma serupa merebak di Pemilihan Wali Kota (Pilwalkot) Magelang, mantan Sekretaris Daerah (Sekda) Joko Budiyono tersingkir oleh calon orang pusat. Siapa orang pusat dimaksud, pasti orang berpengaruh yang kuasa kedudukan, atau pengaruhnya mampu mengubah peta rekomdasi.
Nasib serupa Joko Budiyono dialami Kolonel Haryono. Putra asli Salatiga ini telah mempersiapkan dan membangun komunikasi cukup lama. Mantan Komandan Pangkalan AL (Danlanal) Semarang itu bahkan otimistis mendapat rekomendasi karena telah melakukan komunikasi langsung dengan elit partai.
Namun, Partai Demokrat, dan Gerindra yang sudah memberi tengara dukungan akhirnya lepas juga.
Pilwakot Semarang setali tiga uang, selain operasi menyasar Mbak Ita yang sarat spekulasi politik, calon yang muncul penuh kontroversi. Pernik-pernik semacam itu menjadikan Parpol cenderung tidak dipercaya lagi oleh konstituennya. Karena mekanisme formal yang memijakkan merit system organisasi hanya omong kosong.
Moratorium Nasional
Mencermati trend seperti di atas, Parpol bukan menjadi lembaga kader yang ideal. Distorsi kepentingan-kepentingan pragmatis begitu dominan mewarnai. Jika kecenderungan dibiarkan merajalela, maka di negara ini akan banyak badut-badut yang menjadi pemimpin, lebih tepat penguasa.
Demokrasi yang mestinya menjadi pintu masuk calon-calon pemimpin alterantif malah sebaliknya. Parpol tidak lain adalah mesin oligarki dan rahim bertumbuhnya politik dinasti. Pasca reformasi sampai sekarang distorsi yang terjadi di banyak lini kehidupan berbangsa dan bernegara begitu memprihatinkan.
Moratorium secara nasional perlu dilakukan sebagai koreksi, evaluasi, dan ikhtiar menyelamatkan bangsa ini. Pilkada serentak menjadi hajad demokrasi seremonial jauh dari substansi memperbaiki kondisi bangsa ini. Jika eksekutif merapuh dengan berbagai kasus yang menderanya, yudikatif pun setali tiga uang. Apalagi legislatifnya. Kita ingat kata-kata Gus Dur, “DPR seperti taman kanak-kanak”.
Atas nama itu semua moratorium menjadi salah satu jalan keluar. Ketika semua pranata tidak lagi dapat dipercaya, pemimpin asyik dengan dirinya sendiri, hakim dan jaksa malah jadi penghisap pencari keadilan, apa lagi yang akan diharapkan. Matematika apalagi yang
dapat jadi pegangan. Wahai rakyat, akhirnya kembalilah pada hati nuranimu, jangan silau iming-iming untuk membeli suara anda. Terima saja uangnya, tapi cobloslah yang memang layak dipercaya. Tabik.
Sumber : www.rmoljawatengah.id
Polda Jateng, Kapolda Jateng, Irjen Pol Ribut Hari Wibowo, Wakapolda Jateng, Brigjen Pol Agus Suryonugroho, Kabidhumas Polda Jateng, Kombes Pol Artanto, Jawa Tengah, Jateng, AKBP Sigit, AKBP Erick Budi Santoso, Iptu Mohammad Bimo Seno, Kombes Pol Ari Wibowo, Kompol Muhammad Fachrur Rozi, Artanto, Ribut Hari Wibowo